Cara Mudah Mencerdaskan Anak

Posted on Updated on

“Syifa itu cerdas sekali. Otaknya jalan. Kalau diskusi, seperti orang dewasa.” Begitu kata beberapa guru putri kami itu (9 tahun) yang sampai ke telinga istriku.

“Maklum, bapaknya ‘kan penulis,” timpal 1-2 orang diantara mereka.

Hmmm… Aku jadi bertanya-tanya dalam hati.

1) Benarkah anak kami itu cerdas? Ah, aku tidak terlalu mempedulikannya. Apakah dia tolol ataukah jenius, dia perlu belajar terus!

2) Kenapa, ya, kalau ada anak yang cerdas, orang-orang jadi teringat pada bapaknya? Bukankah peran ibu kepada anak, terutama di masa kanak-kanak, lebih besar?

3) Apakah penulis itu, termasuk diriku, cerdas? Belum tentu. Nyatanya, sejumlah pengunjung blogku menyebutku tolol, bodoh, jahiliyah, dsb.

4) Apakah kemampuan berdiskusi itu pertanda cerdas? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Kecerdasan ‘kan ada banyak jenisnya. Dalam diskusi, yang menonjol hanyalah kecerdasan logis dan verbal. Bisa saja seseorang memiliki kecerdasan logis dan verbal yang cukup tinggi, tetapi kecerdasan sosial atau lainnya rendah.

Seraya bertanya-tanya dalam hati, aku pun berjawab-jawab. Apakah anak kami menjadi cerdas ataukah tidak, yang penting bahwa kami berusaha mencerdaskan anak. Apa pun hasilnya, kami bertawakkal sajalah.

Menurutku, ada satu cara yang mudah untuk mencerdaskan anak dalam hal kecerdasan logis dan verbalnya. Caranya, sering-sering berdialog dengan anak, tetapi…. (Nah, ada tapinya lo! Jadi, baca sampai tuntas, ya!)

Dalam pengamatanku, ada banyak orangtua yang berdialog dengan anak dengan menempatkan anak dalam posisi yang lebih rendah. Anak dianggap kurang pengalaman, lebih bodoh, nakal, dsb. Dengan posisi begini, orangtua cenderung menggurui anak. Seolah-olah, tugas orangtualah berkata-kata, sedangkan tugas anak adalah mendengar saja. Anak yang membantah omongan orangtua dianggap kurang ajar. Kata-kata sang anak yang bukan bantahan pun seringkali dikritik secara tajam, bahkan kasar, karena sang orangtua menilainya tidak benar, tidak baik, tidak sopan, dsb. Akibatnya, surutlah kemauan anak untuk berkata-kata. Hasilnya, si anak menjadi tidak terbiasa berkata-kata. Akhirnya, dengan keadaan begitu, bagaimana mungkin si anak itu menjadi lihai berkata-kata?

Oleh karena itu, ketika berbincang-bincang dengan anak-anakku, seringkali aku berusaha menempatkan diri dalam posisi yang lebih rendah. Mereka kuanggap lebih pintar, lebih berpengalaman, dan lebih beradab daripada diriku. Dengan begini, aku cenderung belajar dari anak-anakku. Tugas anak-anak adalah membiasakan diri berkata-kata, sedangkan tugas orangtua adalah menjadi “pendengar yang baik”. (Untuk menjadi pendengar yang baik, lihat “10 Kiat Menjadi Pendengar Yang Baik“.)

Dengan membiasakan anak berkata-kata, maka akan berkembanglah kecerdasan verbalnya. Terus, bagaimana dengan kecerdasan logisnya? Bagaimana cara mudah untuk mengembangkannya?

Caranya, seiring dengan menjadi “menjadi pendengar yang baik”, adalah “menjadi penanya yang baik”. Dengan menempatkan diri dalam posisi yang lebih rendah daripada anak, mudahlah bagi kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bila perlu, kita dapat mengajukan pertanyaan “konyol” ala orang blo’on (seperti Welas dalam sinetron Suami-Suami Takut Istri). Tentu saja, tidak semua pertanyaan dapat mencerdaskan anak. Pertanyaan sulit, misalnya, justru akan membuat anak merasa bodoh. Pertanyaan yang mencerdaskan adalah yang merangsang anak untuk mengolah kembali apa yang sudah dia amati, dia dengar, dia pelajari, dan sebagainya, sehingga anak itu mampu mengambil kesimpulan sendiri. (Untuk contoh, silakan perhatikan dialog antara diriku dengan Syifa di postingan “Bila Guru Menanam Kebencian di Benak Murid“.)

Dengan membiasakan anak mengambil kesimpulan sendiri, maka berkembanglah kecerdasan logisnya. Iya, nggak?

Jadi, cara mudah untuk mencerdaskan anak (terutama dalam hal kecerdasan logis dan verbal) adalah “menjadi pendengar yang baik” dan “menjadi penanya yang baik”.

Wallaahu a’lam.

6 respons untuk ‘Cara Mudah Mencerdaskan Anak

    lutfi said:
    18 Januari 2009 pukul 23:15

    Memang sih tidak gampang menjadi ‘yang lebih rendah’ dari anak. Sebab biasanya orangtua punya ego tersendiri. Saya setuju saran bapak, agar kita senantiasa menjadi pendengar yang baik dan penanya yang baik.
    Saya punya pengalaman dengan anak saya yang masih berumur 3 tahun. Anak saya ini luar biasa ngomongnya (sampai-sampai mamahnya bilang cerewet karena kewalahan ngeladeni omongannya). saya juga kadang-kadang menyerah meladeninya, karena saya sudah terlalu capek setelah bekerja. Saat saya ingin menempatkan diri pada posisi menjadi penanya yang baik malah terkendala dengan capek.

    dany wicaksono said:
    19 Agustus 2010 pukul 11:31

    artikel yang bagus nih, terima kasih pak.

    rukyatun said:
    3 September 2010 pukul 08:36

    artikel ini kren banget pak, terima kai

    WITNO AGRO said:
    21 Desember 2010 pukul 14:12

    ANAKU YANG PERTAMA CERDAS DI SEKOLAH RENGKING SATU TERUS TAPI KALO BICARA KAYAKNYA MALU, BAGAIMANA CARANYA?

    Kumpulan nama bayi Islami modern said:
    30 April 2012 pukul 00:37

    Kualitas hidup seorang ayah dan bunda dalam menjalani dan memaknai kehidupan spiritualnya akan menjadi faktor penentu KECERDASAN SANG ANAK.

    “SUKSES SELALU UNTUK ANDA”

    yuharefendi said:
    30 Mei 2012 pukul 03:34

    anak ,,bagi org yg cerdas dan beriman,,, adalah amanah dan investasi dari tuhan dan masa tua kita,, wujud makluk mulai,,sabar tawakal ikclas dalam menumbuh kembangan si buah hati kewajiban kita mahkluk mulia,,jgn berharap banyak hari tua aman,,, bila si buah hati tidak wajar dalam ajaran,,pikrkanlah wahai macluk sempurna,,,,amien.. terima consul gratiss, usaha R.tangga.sibuah hati, urusan berteman dlm usaha dari para rekan koresp.jam 20.00 sd 22.00 sms dulu.087885700845..omyuharmuslim.( sikap mulia investasi surga )

Tinggalkan Balasan ke dany wicaksono Batalkan balasan