Sebuah solusi atas konflik antara sastra dan agama

Posted on

Benturan antara kebebasan ekspresi sastra dan larangan penistaan agama (Islam) yang terjadi pada pada waktu saya masih bayi rupanya masih hangat dibicarakan hingga sekarang. Buktinya adalah penayangan artikel Pak Sawali mengenai kasus cerpen “Langit Makin Mendung” (LMM) pada akhir pekan lalu.

Dari artikel tersebut dan tanggapan-balik beliau terhadap tanggapan pembaca, saya menangkap kesan betapa kuatnya jiwa “pendidik” pada diri beliau. Beliau tidak mengajak pembaca berdebat. Beliau tidak ingin kita terhanyut dalam kontroversi. Beliau “hanya” mengajak kita semua belajar dari kasus itu. Beliau hendak mencerdaskan dan mengalimkan kita tanpa menggurui. Inilah yang membuat saya tertarik untuk menulis tanggapan di sini.

Pertama, Pak Sawali mengabarkan, “Redaktur majalah Sastra [yang menerbitkan cerpen LMM], H.B. Jassin harus berurusan dengan pihak yang berwajib, bahkan divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun karena dianggap melakukan penodaan agama (pasal 156a KUHP).”

Terhadap kabar tersebut, saya merasa perlu menambahkan fakta yang diungkap oleh editor buku Pleidoi Sastra (2004), hlm. 465:

Hans [Jassin] naik banding. Sampai sekarang surat vonis belum diterimanya. Bagaimana keputusan Pengadilan Tinggi –bahkan hingga wafatnya– belum diketahuinya.

Jadi, proses hukum atas kasus ini belum selesai. Saya jadi bertanya-tanya: Ada apa ini? Mengapa kasusnya dibiarkan terkatung-katung? (Kedua belah pihak yang berseteru masih sama-sama beranggapan berada di pihak yang benar dan sama-sama saling menyalahkan, tanpa ada pihak ketiga yang berhasil menengahi.)

Kedua, bagi siapa pun yang hendak mendalami kasus ini, saya merekomendasikan buku Muhidin M. Dahlan & Mujib Hermani (ed.), Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin (Jakarta: Melibas, 2004). Di buku setebal 484 halaman tersebut dimuat:

  • empat cerpen Kipandjikusmin, termasuk LMM
  • lima artikel pembelaan HB Jassin
  • 33 artikel polemik karya berbagai tokoh agamawan dan sastrawan, termasuk Hamka, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Bahrum Rangkuti, Ajip Rosidi, AA Navis, Mochtar Lubis, bahkan juga seorang penulis tamu dari Malaysia.
  • kutipan proses verbal Kejaksaan Agung terhadap HB Jassin
  • cuplikan pleidoi HB Jassin

Ketiga, bagian yang paling menarik di buku tersebut dalam pandangan saya (selaku seorang agamawan yang berusaha memahami sudut pandang sastrawan) adalah pleidoi HB Jassin. Mari kita simak beberapa paragraf diantaranya:

Saya teringat pada cerita Abu Nawas yang diceritakan kembali oleh Jaksa Dali Mutiara, SH, yaitu tentang saudagar Mesir yang jatuh miskin [setelah bermimpi hendak membayar mas kawin putri Tuan Kadi Besar] karena hartanya dirampas oleh Tuan Kadi Besar. Demi didengar oleh Tuan Kadi Besar bercerita tentang mimpi itu, ia pun menagih uang mas kawin atas nama putrinya dan tatkala saudagar itu menolak membayar, maka ia dijatuhi hukuman, segala hartanya dirampas oleh Kadi Besar.

Abu Nawas membalas [perlakuan Tuan Kadi terhadap] saudagar Mesir itu. Dikerahkannya pemuda-pemuda dan disuruhnya bongkar rumah Tuan Kadi Besar itu. Tuan Kadi mengadu pada Sulta Harun Al-Rasyid. Sultan memanggil Abu Nawas dan terjadilah percakapan sebagai berikut:

Sultan: “Hai, Abu Nawas! Apa sebabnya engkau suruh orang membongkar rumah Tuan Kadi Besar dan segala isinya?”

Abu Nawas: “Hamba hanya menjalankan hukum, Tuanku! Hamba bermimpi, Tuan Kadi Besar datang kepada hamba supaya membongkar rumahnya dan segala isinya, sebab berasal dari harta yang tak halal. Lalu perintah itu saya jalankan.”

Sultan: “Itu hanya mimpi saja! Perintah dalam mimpi bukanlah hukum yang boleh dijalankan.”

Lalu Abu Nawas mengungkapkan bahwa “Hukum Mimpi” demikian telah dilaksanakan oleh Tuan Kadi Besar terhadap saudagar Mesir. Sultan Harun Al-Rasyid pun murka lalu memasukkan Tuan Kadi Besar ke dalam penjara. (hlm. 439-440)

Lantas, apa hubungan cerita tersebut dengan kasus cerpen LMM? HB Jassin menerangkan:

Saya menolak karya ‘Langit Makin Mendung’ ditanggapi sebagai karya agama dan memakaikan sebagai ukuran kaidah-kaidah agama. Saya tetap berpendapat bahwa cerita [fiksi] mempunyai dunianya sendiri, dengan hukum-hukumnya sendiri, seperti dunia mimpi yang mempunyai hukum-hukum yang lain dari hukum-hukum moral dan/atau logika tradisional. Maka apabila Saudara Jaksa, karena memakaikan hukum-hukum yang tidak berlaku bagi alam imajinasi, menuduh saya atau pengarang, menodai akidah agama, maka itu adalah jelas tidak benar dan fitnah yang tidak berdasar. Saya tidak menolak hukum-hukum positif dan akidah agama, sebagai yang berlaku dalam dunia kenyataan, tapi saya minta pengertian tentang motif-motif yang terkandung dalam alam imajinasi dalam cerita ‘Langit Makin Mendung’ ini. (hlm. 419-420)

Pembelaan HB Jassin itu mengingatkan saya pada berbagai film dan sinetron yang pada akhir tayangan menyatakan: “Kisah ini fiktif. Kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. …”

Saat mulai menulis artikel ini, saya sempat berpikiran untuk menawarkan solusi atas kasus semacam ini yang berupa “catatan” semacam itu, misalnya: “Kisah LMM ini fiktif belaka. Pada kenyataannya, tidak ada pensiunan nabi. …. [dan sebagainya]”

Akan tetapi, belakangan saya sadari, itu baru menyinggung persoalan aqidah, belum memperhitungkan masalah pencemaran nama baik. Ambil contoh, misalnya saya menulis cerpen yang menceritakan HB Jassin, seorang “paus sastra” di negeri antah-berantah, gemar melakukan perbuatan maksiat: main judi, main perempuan, mencuri, menipu, dsb. Tidakkah orang-orang yang mencintainya akan sedikit-banyak merasa sakit-hati dan marah kepada saya? Memadaikah “catatan” bahwa cerpen ini fiktif belaka?

Keempat, kini, solusi yang saya tawarkan: marilah kita saling menghargai. Kepada para sastrawan, saya himbau: hargailah perasaan kaum agamawan yang amat peka, khususnya kalau akidah mereka disinggung-singgung. Bila menulis karya yang sensitif seperti itu, mintalah masukan lebih dahulu kepada tokoh agamawan sebelum mempublikasikannya. Kepada para agamawan, saya himbau: hargailah imajinasi sastrawan yang terkadang sulit dipahami orang lain. Andai hendak menanggapi karya seperti itu, dengarkanlah penjelasan mereka lebih dahulu sebelum menetapkan penilaian. Kepada kedua belah pihak, saya himbau: berdamailah dan carilah titik temu!

Bagaimana menurut Anda?

Tembusan:
http://caplang.wordpress.com/
http://mathematicse.wordpress.com/
http://extremusmilitis.wordpress.com/
http://qzink666.wordpress.com/
http://edratna.wordpress.com/
http://danalingga.wordpress.com/
http://sisca79.wordpress.com/
http://deking.wordpress.com/
http://gresik.wordpress.com/
http://mbelgedez.wordpress.com/
http://rozenesia.wordpress.com/
http://spektrumku.wordpress.com/ 
http://herianto.wordpress.com/

8 respons untuk ‘Sebuah solusi atas konflik antara sastra dan agama

    Kurt said:
    21 November 2007 pukul 11:20

    Waah dibahas juga toh sastra zaman dahulu ini…. tapi memang kang Sawali rupanya ingin menampilkan sosok sebuah sastra yang saya kira tidak bermaksud apa2 sebab beiau seorang pemerhati/guru sastra.

    Mempersoalkan sastra yang “miring” atau pernyataan apapun yang melecehkan agama, memang sedang fenoma di berbagai negara. Kasus karikatur Nabi saw, the satanic verse atau lainnya memang enak dibicarakan tapi yaa gitu deh (menuai perdebatan antara yang pro dan kontra) 🙂

    Sawali Tuhusetya said:
    21 November 2007 pukul 16:35

    Terima kasih Pak Shodiq atas tambahan informasinya. Saya memang menggunakan buku Pleidoi Sastra sebagai rujukan, bahkan cerpen LMM yang dimuat di buku tersebut saya ketik ulang dan saya beri link khusus agar bisa dinikmati pembaca. Ketika iseng-iseng membuka Om Google, saya mendapatkan informasi lain tentang vonis hukum kepada HB Jassin. Sayang sumber tersebut gagal saya lacak lanjutannya.
    OK, sekali lagi makasih Pak Seodiq mudah2an kita bisa belajar dari kasus yang menimpa HB Jassin agar tidak terjadi preseden lagi di masa2 mendatang. OK, salam.

    Sawali Tuhusetya said:
    21 November 2007 pukul 16:36

    @ Kurt:
    Makasih juga saya sampaikan kepada Mas Kurt. Salam.

    leny said:
    21 November 2007 pukul 20:55

    ikutan ah dikit2…
    sebenarnya karya HB Jassin itu gue udach lahir belum yah? gak familiar euy…cuma sempat melacak via Om google dan hasilnya memang atmosfernya akan beda dibanding ketika gue dan teman2 yang lainnya juga sudah paham masa itu.

    tidak bermaksud menyimpulkan karena tidak punya dasar untuk itu, kalau di ijinkan cuma mau ikut bikin…………..disini hihihi.

    semakin lahannya dibuat maka tempat untuk melakukan kontroversi akan semakin meluas.

    kita tidak perlu membuat ekspedisi gila2-an itu karena seluruh lapisan langit & gugusan planet itu sesungguhnya terkonstalasi di dalam kepala kita sendiri dalam otak seukuran genggam.

    makasih Kang Shodik jadi tau sejarah dunia sastra &
    sepakat Kang Shodik kita harus tau yang kita hujat itu apa dan menetapkan penilaian.

    karena kata orang2 pintar, yang pintar sekali : kebenaran saat ini tidak lagi berlawanan dengan ketidak benaran, tapi kebenaran berlawanan dengan kebenaran lainnya.maka kebenaran itu harus disepakatai.

    salam kenal.

    Donny said:
    21 November 2007 pukul 21:43

    Euh, baru tahu sih isinya judul cerpennya juga, apalagi isinya belum faham…

    Saya sih sering cengar-cengir sendiri kalau membaca karya-karya sastra atau tulisan apa pun yang ‘menyindir’ atau ‘mengkritik’ agama, nabi atau Tuhan sekali pun. Suka-suka penulis lah…tapi barangkali setiap penulis pun perlu lebih bijak dengan karya-karyanya. Persoalannya bukan “ini loh karya gua, lu suka atau nggak, bukan urusan gua…“, tapi juga sejauh mana sang penulis siap bertanggung jawab dengan karya-karyanya, apalagi jika menyangkut agama. Saya kira…:)

    Tapi, ide soal warning itu sepertinya perlu dipertimbangkan…:)

    M Shodiq Mustika responded:
    23 November 2007 pukul 02:08

    @ kurt

    Banyak yang nggak suka debat, banyak pula yang suka, ‘kan?

    @ Sawali

    OK. Belajar bersama Pak Sawali sungguh menyenangkan.

    @ leny

    Salam kenal kembali.

    Sip. Analisis Anda jitu. Memang sering, satu kebenaran berlawanan suatu dengan kebenaran lainnya. Perbedaan sudut pandang sering menghasilkan pro-kontra. Andai ini disadari, tentu kita bisa saling menghargai, bukan?

    @ Donny

    Sekarang Dik Donny masih cengar-cengir? 🙂

    mawar merah said:
    23 November 2007 pukul 06:29

    …solusi yang saya tawarkan: marilah kita saling menghargai.

    Setujuuuuuuuuuuuu

    kelayapan said:
    25 November 2007 pukul 01:49

    salam

    maaf, numpang coretan aja,gk ada maksud tertentu,

    menurut saya, hargailah diri sendiri,karena kita sebagai orang yg beragama,

    oleh krn itu,kita wajib mengedepankan agama,baru akal….

    maaf

Silakan sampaikan pemikiran Anda