Berilah Kemudahan Bercinta daripada Mencegah Zina Secara Berlebihan

Posted on

Para ulama mengakui bahwa dalam Islam, tidak ada larangan pacaran. Namun, sebagian aktivis dakwah menentang keberadaan “pacaran islami” alias “tanazhur pranikah” atau “bercinta sebelum khitbah“. Alasan mereka adalah penerapan kaidah saddudzdzari’ah, yaitu “upaya pencegahan agar sesuatu yang tidak kita inginkan [yaitu zina] tidak terjadi”. (UPDATE: Yang dimaksud dengan “bercinta” di situs ini bukanlah “berhubungan seksual”. Lihat http://pacaranislami.wordpress.com/2007/04/11/12-alasan-mengapa-bercinta-sebelum-menikah/.)

Upaya “pencegahan untuk berjaga-jaga” itu memang perlu kita hargai. Mungkin hati mereka sangat pilu memprihatinkan kebobrokan moral yang kadang-kadang terdapat pada budaya pacaran pada umumnya.

Sungguhpun demikian, kita menyayangkan sikap mereka yang sangat berlebihan dalam upaya tersebut. Begitu berlebihannya upaya mereka dalam “pencegahan untuk berjaga-jaga”, sampai-sampai mereka mengharamkan segala bentuk pacaran, sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mereka kurang memperhatikan adanya kebaikan dalam “pacaran islami” alias “tanazhur pranikah”. Mereka pun lupa akan kesulitan yang akan menimpa muda-mudi Islam jika larangan “tanazhur pranikah” itu diterapkan secara mutlak.

Kaidah saddudzdzari’ah itu sering diangkat ke permukaan tanpa disertai alasan yang kuat, antara lain seperti yang kami singgung dalam artikel Haramkah “jalan menuju zina”. Oleh sebab itu, kami memutuskan untuk menyampaikan beberapa karakteristik hukum Islam yang relevan dengan persoalan ini. Kami mengutipnya dari Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 3:

Pertama, Islam menetapkan bolehnya kaum wanita melihat kaum laki-laki, dan sebaliknya. Islam tidak melarang hal itu sebagai suatu pencegahan agar tidak terjadi penyimpangan, namun tetap memberlakukan tata krama yang dapat meredam fitnah sehingga jika pun seorang wanita dan [seorang] laki-laki bertemu, pertemuan mereka bersih dari fitnah. (hlm. 172)

Kedua, Islam membolehkan kaum wanita bertemu dan berkumpul dengan kaum laki-laki. Islam pun tidak melarangnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Upaya yang dilakukan Islam adalah meletakkan berbagai aturan dan tata krama yang dapat meredam fitnah sehingga pertemuan mereka terjadi dalam suasana yang bersih dari fitnah. (hlm. 173)

Ketiga, Islam membolehkan kaum wanita bercakap-cakap dengan kaum laki-laki. Artinya, Islam tidak melarang hal itu hanya karena alasan saddudzdzari’ah. Akan tetapi, Islam meletakkan berbagai aturan yang dapat meredam fitnah sehingga percakapan berlangsung dalam suasana yang bersih dan suci. (hlm. 173-174)

Keempat, Islam membolehkan kaum wanita bepergian dan berada di jalan-jalan. Artinya, Islam tidak melarangnya demi menerapkan kaidah saddudzdzari’ah, bahkan Islam menetapkan berbagai aturan dan sopan santun yang dapat meredam fitnah. (hlm. 174)

Jadi, “kaidah saddudzdzari’ah [yang berarti “pencegahan untuk berjaga-jaga”] terkalahkan oleh kaidah taisir, yaitu kaidah memberikan kemudahan”. (Kebebasan Wanita, Jilid 3, hlm. 176)

13 respons untuk ‘Berilah Kemudahan Bercinta daripada Mencegah Zina Secara Berlebihan

    Abu Zahra said:
    9 Oktober 2007 pukul 03:23

    Benar, “upaya ‘pencegahan untuk berjaga-jaga’ itu memang perlu kita hargai”. Ini sudah dilakukan Ustadz Shodiq dan para pendukung islamisasi pacaran.
    Mestinya, para penentang ‘pacaran islami’ alias ‘tanazhur pranikah’ juga harus menghargai Abu Syuqqah dan para pengikut beliau yang lebih mengutamakan kaidah taisir (memberikan kemudahan) daripada sadduzdzari’ah (pencegahan untuk berjaga-jaga).

    zidni said:
    9 Oktober 2007 pukul 03:30

    Yach, metode ijtihad memang berlainan diantara ulama2, bahkan yg mazhabnya sama sekalipun.

    Para ulama yg hasil ijtihadnya berlainan itu pun sudah saling menghargai.

    Hanya orang awam yang ilmunya masih rendah sajalah yang belum mampu saling menghargai.

    observer said:
    9 Oktober 2007 pukul 04:19

    Tidakkah mestinya dijelaskan bahwa yg dimaksud dgn “bercinta” di sini bukanlah berhubungan seksual?

    Ya, atas masukan Anda ini, kami lakukan UPDATE di akhir paragraf pertama.

    dhani said:
    19 Oktober 2007 pukul 10:34

    ini memberi sanya sebuylah Penkgertyan

    ustd.Muhammad Rachmat said:
    20 Oktober 2007 pukul 23:30

    asalamu alaikum wr.wb. Pa Shodik MAU KEMANA…?

    hindy said:
    2 November 2007 pukul 16:21

    Apa yang telah saudara M Shodiq Mustika paparkan dalam bukunya ini memang MEMCAMPURADUKKAN ANTARA HAL YANG HALAL DAN HARAM. Di satu pihak mengutip ayat-ayat Quran dan hadits, tapi di lain pihak menganjurkan kita BERBUAT MAKSIAT.

    Sungguh, bukan zinalah yang dilarang dalam Al Quran, tapi MENDEKATI ZINA PUN SUDAH DILARANG. Bahkan ZINA HATI lah yang pertama memicu adanya ZINA TANGAN, ZINA KAKI, dan baru ZINA FARJI (kemaluan).

    Sementara kalau orang pacaran, apa mungkin keduanya tidak melakukan ZINA HATI? Penulis buku ini memang berlagak pintar tapi sebenarnya BODOH.

    Saya tau banyak orang yang tidak suka dengan ajaran Islam yang kaffah. Termasuk penulis buku ini. Makanya mereka selalu berusaha membuat argumen yang notabene merupakan rekayasa untuk menghancurkan Islam dengan cara MENJAUHKAN PEMELUKNYA DARI AJARAN ISLAM.

    M Shodiq Mustika responded:
    3 November 2007 pukul 03:10

    Yang kami kutip di sini bukanlah buku kami, melainkan buku Abdul Halim Abu Syuqqah, seorang ulama terpercaya dari Ikhwanul Muslimin.

    … memang MEMCAMPURADUKKAN ANTARA HAL YANG HALAL DAN HARAM.

    Apa Anda sudah membaca buku Abu Syuqqah itu? Yang halal dan yang haram manakah yang dicampuradukkan oleh beliau?

    kalau orang pacaran, apa mungkin keduanya tidak melakukan ZINA HATI?

    Ya mungkin saja. “Zina hati” adalah “memikirkan bagaimana berzina”. Para pelaku “tanazhur pranikah” alias “pacaran islami” yang sibuk memikirkan bagaimana mempersiapkan pernikahan takkan sempat memikirkan bagaimana berzina. Jadi, selamatlah keduanya dari “zina hati”.

    Agus said:
    16 Maret 2009 pukul 19:26

    @ pak sodiq

    saya pingin tanya bgmana ataù seperti apa sih bentuknya “pacaran islami” itu? Biar jelas,tdk bias tdk samar2 dan tdk membingùngkan umat.Trims sblmnya

      M Shodiq Mustika responded:
      16 Maret 2009 pukul 20:31

      @ Agus
      1) Aku belum mengerti apa yang kau maksud dengan “membingungkan umat”. Yang aku tahu, ada banyak orang yang tadinya yakin bahwa tidak ada pacaran dalam Islam, kemudian berubah menjadi ragu akan keyakinannya itu ketika mulai membaca tulisan2ku mengenai pacaran islami. Namun setelah mereka lebih mendalami tulisan2ku, mereka tidak ragu2 lagi, tetapi keyakinan mereka berubah menjadi yakin bahwa tidak ada larangan pacaran dalam Islam.
      2) Supaya tidak membingungkan umat, aku tidak berhenti hanya dengan menegaskan bahwa tidak ada larangan pacaran dalam Islam. Aku pun sering mengungkap berbagai bentuk pacaran yang islami. Aku menerima keberadaan berbagai konsep pacaran islami yang sudah ada. Diantaranya ala Quraish Shihab, Ibnu Hazm, Ibnu Qayyim, Abu Syuqqah, dsb. Dalam berbagai konsep itu, bentuk nyata pacaran islami sudah dipaparkan.

    Agus said:
    16 Maret 2009 pukul 22:03

    @pak sodiq

    tidak ada larangan pacaran dalam islam

    dalam islam tidak dikenal istilah pacaran bagaimana islam mau melarang atau membolehkan?Ada istilah pacaran itú dikarenakan pak sodiq yang mengadakan/memaksakan untuk ada atau diada2kan.Maaf..

      M Shodiq Mustika responded:
      16 Maret 2009 pukul 22:36

      @ Agus
      Kau hanya memperhatikan satu ungkapan tanpa memperhatikan landasan di balik ungkapan tersebut. Apakah kau belum membaca jawabanku terdahulu? Apakah kau belum pernah mempelajari ilmu ushul fiqih? Ataukah kau sudah pernah mempelajarinya tetapi tidak mau mengakui keberadaannya?
      Kalau sudah pernah mempelajari ilmu ushul fiqih dan mengakui keberadaannya, mestinya kau sudah tahu bahwa pelarangan atau pembolehan sesuatu itu bukanlah karena istilahnya, melainkan karena perbuatannya. Contoh: di zaman Nabi belum ada istilah bank, organisasi kemasyarakatan, internet, rokok, golput, … dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun, tiadanya istilah2 seperti itu bukan berarti bahwa kita tidak bisa melakukan pelarangan/pembolehan terhadap hal2 tersebut. Karena itulah para ulama ahli ushul fiqih menetapkan kaidah2 di bidang ibadah dan mu’amalah.
      Dan kalau kita sudah mengakui bahwa dalam Islam tidak ada larangan pacaran, atas dasar apakah kau mengharamkan pacaran? Mana dalilnya?

    Irawan Danuningrat said:
    17 Maret 2009 pukul 14:09

    Di negara dan masyarakat manapun wajar terjadi penolakan publik terhadap penggunaan istilah kontroversial sebuah kata bermakna ganda jika diperkirakan dan dikhawatirkan dpt menimbulkan pertentangan atau penafsiran keliru oleh sebagian masyarakat, terlebih lagi jika hal itu menyangkut masalah hukum.

    Guna menghindari pertentangan2 yg tidak perlu dan sebagai wujud penghormatan thdp kultur yg hidup di masyarakat, bukankah sedapat mungkin dihindari penggunaan istilah bermakna ganda, apalagi yg kontroversial, walau penggunaan kata tsb mungkin didukung oleh kaidah bahasa yg ada(misalnya penggunaan kata “bercinta” yg luas dipahami sebagai “make love” yg jelas bermakna dan dipahami masyarakat sebagai “intercourse” atau sanggama, sehingga sangat berpeluang menimbulkan kerancuan, salah pengertian dan misinterpretasi, sebagaimana halnya penggunaan istilah “pacaran”.

    Di Brazil, kata “fazer amor” = bercinta/menjalin hubungan cinta; juga sangat dipahami sebagai sinonim kata “relação sexual” (senggama). Dan jika kepada komunitas muslim di Brasilia DF (jumlahnya lumayan, mesjid agungnya cantik berlokasi di ASA 215 norte) dikatakan bahwa “Islam permitir fazer amor antes de casamento” – ini jelas menyangkut hukum – (Islam mengizinkan “bercinta” sebelum menikah), mereka pasti protes keras meskipun dijelaskan bahwa kata “fazer amor” disitu adalah “membina hubungan cinta” sebagaimana dimungkinkan oleh kaidah bahasa. Masalahnya, istilah “fazer amor” adalah bahasa mereka, bahasa warga Brazil – bukan bahasa Islam, yg selama ini mereka gunakan untuk dipahami sebagai “senggama”.

    Demikian pula istilah “pacaran” dan “bercinta”. Menurut hemat saya kedua kata tsb adalah bahasa bangsa Indonesia yg plural, multi etnis, multi kultur dan multi agama, bukan bahasa Islam, sehingga belum tentu mengandung nuansa islam didalamnya.
    Mungkin saja makna kata “pacaran” sejatinya adalah hubungan khusus sepasang manusia dlm rangka menuju pernikahan, namun mengingat komposisi masyarakat Indonesia yg tidak semuanya mengharamkan pria-wanita berdua-duaan, berpegangan tangan, berciuman atau bahkan mungkin saja ML, maka didalam istilah “pacaran” yakni hubungan laki-perempuan dgn maksud akan menikah tsb, wajar saja terkandung kegiatan berupa “upaya pendekatan” yg diharamkan Islam.

    Saya percaya jika kegiatan pra nikah dalam Islam “tanazhur pra nikah(?)”dikatakan mendekati kegiatan yg oleh sebagian masyarakat Indonesia disebut “pacaran” meski pasti tidak sepenuhnya bernuansa sama atau bahkan ada perbedaan yg mendasar tentunya.

    Dipandang dari sudut ilmu komunikasi, bukankah yg terpenting adalah bagaimana menyampaikan idea/maksud agar ditangkap dan dipahami secara TEPAT oleh audience, bukan malah membebani mereka dengan kontroversi terkait masalah kaidah bahasa. Pentingnya aspek pemahaman oleh masyarakat luas tsb, konon menjadi salah satu penyebab munculnya Idiom dan Slang dlm suatu bahasa, dimana arti kata yg “terlanjur” secara konsensus dipakai dan dipahami masyarakat luas justru menjadi arti yg berlaku bagi kata dimaksud, dibanding arti kata yg sesungguhnya. Pergeseran arti kata ini, alih-alih dianggap “dirampok”, keberadaan Idiom dan Slang ini justru menunjukkan “kekayaan” dan kedinamisan suatu bahasa.

    wallahu’alam bishowab

      M Shodiq Mustika responded:
      17 Maret 2009 pukul 17:23

      @ Irawan Danuningrat
      Aku memahami apa yang kau khawatirkan. Hanya saja, aku menggunakan sudut pandang lain.

      Bagiku, idiom dan slang itu bisa kita anggap sebagai “kekayaan” bila membawa kita kepada kebaikan. Tapi kalau membawa kita kepada keburukan, itu justru “memiskinkan” nilai-nilai kemanusiaan kita. Semakin banyak istilah berkonotasi buruk, akan semakin buruklah masyarakat itu. Sebaliknya, semakin banyak istilah berkonotasi baik, akan semakin baiklah masyarakat itu. Inilah yang kurasakan dalam pengalamanku sebagai seorang penerjemah dan penulis buku selama ini. Itulah latar belakang mengapa aku berusaha mengurangi konotasi buruk dan memperbanyak konotasi baik. (Doakan aku semoga berhasil, ya!)

      Adapun tanggapanku mengenai kontroversi kusampaikan di https://muhshodiq.wordpress.com/2009/03/17/kontroversi-di-masyarakat-tidak-perlukah/

Silakan sampaikan pemikiran Anda