Akhlak
5 Kesalahan Fatal Pelamar Lowongan Kerja
Dari lowongan kerja yang pernah saya tawarkan, saya mendapat sejumlah pelajaran berharga. Diantaranya, saya jumpai banyak pelamar yang melakukan kesalahan fatal walau kelihatannya “sepele”. Akibat kesalahan tersebut, pertimbangan saya untuk menindaklanjuti lamaran mereka saya hentikan. Sebab, pelamarnya lumayan banyak. Pikir saya, “Untuk apa saya memikirkan pelamar yang melakukan kesalahan fatal kalau masih ada banyak pelamar lain yang memenuhi syarat?” Bagaimanapun, waktu saya sangat terbatas. Hanya yang benar-benar menarik perhatian saya sajalah yang akan saya tindaklanjuti lamarannya.
Mau tahu apa saja kesalahan fatal para pelamar yang tak lolos seleksi itu? Ini dia:
1. Kurang cermat dalam menuliskan nama orang
Kesalahan ini mungkin tampak sepele, tetapi sebenarnya sangat penting. Sebab, nama orang merupakan bagian terpenting dari identitas seseorang. Kalau Anda menuliskan nama saya secara keliru, bisa saja saya menganggap bahwa Anda kurang menghargai saya.
Beberapa pelamar menyebut nama saya, “muhshodiq”, yang merupakan nama nickname di internet. Padahal, lowongan tersebut berkaitan dengan posisi saya selaku penulis, sedangkan nama pena saya adalah “M Shodiq Mustika”. Karena itu, pelamar yang menyebut saya “muhshodiq” saja, saya anggap hanya menghargai saya selaku seorang “blogger” dan bukan selaku seorang penulis buku.
Yang paling fatal, beberapa pelamar menulis nama saya secara keliru, seperti “shodik”, “sodiq”, dan sebagainya. Walaupun kesalahannya “hanya” satu-dua huruf saja, itu sudah fatal. Bagaimanapun, untuk kepentingan resmi, menuliskan nama orang haruslah tepat 100%.
2. Bersikap “sok tahu” dalam mengenali keadaan orang
Sebagaimana yang pertama, kekeliruan kedua ini pun berkenaan dengan bagaimana menghargai orang.
Saya sendiri heran mengapa banyak pelamar yang tidak berusaha menggali informasi mengenai saya, padahal mereka melamar pekerjaan untuk menjadi rekan-kerja (atau “bawahan”) saya. Padahal, saya sangat terbuka. Informasi mengenai diri saya dapat Anda temukan dengan mudah di internet. Namun ternyata, ada pelamar dari Jakarta yang mengira saya tinggal di Jakarta, lalu meminta waktu untuk bertemu dengan saya.
Selain itu, saya juga telah menyediakan kesempatan untuk bertanya. Namun, hampir tak ada pelamar yang memanfaatkan kesempatan ini. Apakah mereka sudah tahu segalanya ataukah sok tahu?
3. Melanggar ketentuan tatacara pelamaran
Sebenarnya saya sudah sejelas-jelasnya menerangkan tatacara pelamaran untuk pengisian lowongan kerja yang saya sediakan. Namun, ada banyak pelamar yang bertindak semaunya sendiri, tidak mengikuti tatacara tersebut. Akibatnya, saya menganggap mereka bukanlah orang yang dapat bekerjasama dengan saya.
4. Terlalu tinggi dalam menilai kemampuan diri
Sejumlah pelamar mengaku mampu begini, mampu begitu, dan cenderung muluk-muluk, tetapi tanpa menyertakan bukti sama sekali. Karena tanpa bukti, wajarlah kalau saya justru meragukannya. Mereka biasanya saya beri kesempatan untuk menunjukkan buktinya, tetapi mereka gagal sehingga kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri.
Dalam hal ini, saya teringat pada pengalaman saya ketika melamar menjadi dosen agama Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (1996). Saat itu, beberapa pelamar mengaku mampu berbahasa Inggris dengan lancar. Pelamar-pelamar tersebut kemudian dites. Ternyata tidak ada diantara mereka yang betul-betul lancar berbahasa Inggris. Tentu saja, itu justru menghasilkan penilaian yang sangat negatif.
Sebaliknya, dalam isian formulir tentang kemampuan berbahasa Inggris, saya hanya mencantumkan “little” (sedikit). Namun, saya melampirkan hasil tes yang “sangat memuaskan” dari sebuah lembaga bahasa yang terpercaya. Hasilnya, ternyata kemampuan saya dalam berbahasa Inggris tidak dites lagi sedikit pun. Setelah saya diterima menjadi dosen di UMY itu, barulah saya diberitahu bahwa salah satu pertimbangan utama mengapa saya diterima adalah keunggulan saya dalam berbahasa Inggris.
5. Begitu dinyatakan diterima, justru menyatakan mengundurkan diri
Kesalahan etis ini tampaknya jarang terjadi, tetapi tergolong fatal pula. Baru satu kali saya jumpai seseorang seperti itu.
Dia telah melamar untuk menjadi co-writer saya dengan membawa sebuah naskah. Lamarannya saya terima. Naskahnya itu sudah saya periksa, lalu saya beri dia masukan-masukan untuk memperbaikinya. Namun tiba-tiba dia memutuskan secara sepihak kerjasama ini tanpa memberi kompensasi (ganti rugi) sedikit pun. Akibatnya, saya menganggap dia kurang menghargai saya karena dia tidak memperhitungkan waktu dan energi yang telah saya curahkan untuk memberi masukan kepadanya.
Saya tidak tahu mengapa dia bersikap begitu. Mungkin dia menyangka bahwa dia akan mendapat hasil yang lebih banyak bila bekerja sendiri daripada bekerja bersama saya. Kalau memang begitu, mestinya dia selesaikan dulu satu proyek tersebut, sehingga ketika kerjasama dihentikan, tidak ada pihak yang dirugikan.
Mungkin secara jangka pendek, pelanggaran etis seperti itu tidak merugikan dia. Namun dalam jangka panjang, sebetulnya dialah yang lebih merugi. Sebab, sekurang-kurangnya, dia takkan mendapat “kesaksian” dari saya. Bila ada penerbit yang menanyai saya mengenai orang tersebut, akan saya jawab bahwa saya kurang mengenal dia.
Lain halnya kalau Anda selalu bersikap etis dalam bekerja dengan saya. Saya takkan segan-segan memberi “kesaksian” yang sangat positif mengenai Anda.
Untuk contoh, silakan perhatikan seorang mantan co-writer saya, yaitu Rusdin S Rauf. Berhubung akhlaknya sangat baik ketika bekerja sama dengan saya, maka saya menyampaikan kesaksian yang sangat positif (penuh dengan pujian) ketika beberapa penerbit besar menanyai saya mengenai dia. Saya tidak tahu seberapa besar pengaruh suara saya terhadap penerbit-penerbit tersebut, tetapi yang jelas, sekarang dia sudah menjadi penulis mandiri dan berhasil menembus penerbit-penerbit tersebut.