Kisah Nyata: Bahagia Walau Cinta Tak Berbalas

Posted on Updated on

–Kutipan dari Dan Baker & Cameron Stauth, Pergulatan Cinta dan Rasa Takut (Bandung: Kaifa, 2006), hlm. 158-166:

Berpuas diri adalah ibarat membuat bangunan dengan menumpuk kartu remi, karena kalaulah hidup ini mengajarkan sesuatu, pelajarannya adalah bahwa kita tidak dapat menghindari masalah dan kehilangan. Kebahagiaan bukanlah seni membangun kehidupan yang bebas dari masalah. Kebahagiaan adalah seni untuk merespons dengan baik ketika masalah menghampiri kita.

Saya sendiri mengalami patah hati ketika usia dini. Waktu itu saya masih muda dan jatuh cinta, [saya] seorang doktor di bidang psikologi yang sedang menanjak, baru saja berkeluarga, dan merasa kurang lebih sudah mapan. Lalu, dunia saya terasa runtuh.

Saya sedang menikmati hari paling indah dalam hidup saya. Anak lelaki kedua saya lahir, dan dia begitu lembut, kecil, dan menggemaskan. Saya melihat adanya kemiripan wajah dengan saya, dan rasanya seperti menemukan emas. Saya membayangkan kehidupan terbentang di hadapannya–masa bayi, masa balita, kanak-kanak, masa kuliah, dan seterusnya–dan semua itu membuat hidup saya terasa jauh lebih bahagia dan menyatu dengan dunia. Ketika saya menggendong si kecil riang, dia seperti cinta yang sedang mewujud sebagai manusia kecil di tangan saya. Dan kemudian dokter berkata, “Ada yang tidak beres.”

Keberanian saya lenyap seketika dan saya bisa merasakan degup jantung seperti menendang dari dalam dada ketika dokter mulai merangsang Ryan untuk bernapas.

Tidak lama kemudian, saat Ryan berguling tidak menentu dalam inkubator di balik dinding kaca tebal, dokter mengatakan kepada saya dengan suara tegang bahwa Ryan tampaknya mengidap sindroma selaput hyaline, kegagalan fungsi kantong alveolar di paru-paru. Rumah sakit itu tidak punya perlengkapan untuk menangani masalah itu, jadi Ryan dilarikan dengan ambulans ke rumah sakit yang lebih lengkap di kota besar.

Kenangan akan ambulans itu, lampu merah yang menyala-nyala di malam gulita, terpatri ke dalam otak saya.

Kami mengupayakan segala yang bisa diupayakan, termasuk berdoa, tentunya, tapi si kecil Ryan akhirnya meninggal.

Oleh karena istri saya masih dirawat di rumah sakit untuk pemulihan setelah melahirkan dengan operasi cesar, saya harus menyelesaikan segala urusan kematian itu sendiri–mencari penyedia jasa penguburan di buku telepon, memilih lokasi pemakaman yang sekiranya pantas, membeli peti jenazah yang berukuran kecil, dan memesan batu nisan serta berusaha memikirkan kata-kata apa yang akan ditorehkan di atasnya. Apa yang bisa saya katakan?

Percayalah, kata-kata saya ini tidak perlu dibuktikan lagi: kenangan paling buruk dalam hidup Anda tidak akan pernah memudar.

Saya tenggelam dalam kesedihan. Bahkan sekarang, betapa pun pedih hati ini karena kematian ayah saya, saya tahu bahwa tidak ada yang bisa mengobati nestapa yang menyiksa saya ketika itu. Saya tidak bisa dihibur, takut untuk mengawali setiap hari, dan bahkan lebih takut lagi menghadapi masa depan yang terbentang, merasa benar-benar tak berdaya untuk menyelamatkan emosi saya dari perasaan terpuruk, terpuruk, dan terpuruk.

Saya bertanya kepada Tuhan, “Mengapa saya?” Dan setiap kali saya merasa mendapat jawaban, saya membantahnya. Tidak, kami tidak menjadwalkannya kelahiran itu terlalu cepat. Bukan, bukan salahku kalau rumah sakit kecil itu tidak bisa menolongnya. Tidak, penyakit itu bukan bawaan. Tidak, saya tidak melakukan sesuatu yang begitu jahat sehingga pantas menerima semua ini. Saya bergulat dengan Tuhan–tetapi itulah pergulatan yang tidak pernah Anda menangi.

Karena hidup saya terus berjalan, tidak peduli saya suka atau tidak, saya berusaha menyatukan kembali serpihan dunia saya. Tetapi, seperti juga kebanyakan orang–bahkan sebagai seorang psikolog muda yang semestinya lebih arif–saya berusaha menemukan kembali dunia saya dengan menggunakan mekanisme-mekanisme penyesuaian diri yang lebih membahayakan daripada membantu. Pada saat itu, semuanya terasa masuk akal, bahkan terasa berani. Walaupun begitu, sejak itulah saya sadar bahwa mekanisme penyesuaian diri yang saya gunakan justru malah memperkuat tembok penjara kesedihan dan rasa takut.

Sekarang, saya punya sebutan rendah untuk mekanisme penyesuaian diri yang tidak memperbaiki keadaan itu: 5M Menyesatkan. Sambil berjuang untuk bertahan secara emosional, saya menuntut agar nasib saya diubah, meskipun tidak akan ada perubahan yang mungkin terasa cukup. Ketika saya merasa tidak puas dengan segala yang terjadi, saya meremehkan upaya saya untuk pulih, dan semakin tenggelam dalam ketidakberdayaan. Lalu, saya mulai mengutuk diri sendiri dan berpikir bahwa entah bagaimana saya memang layak menerima tragedi ini, karena saya tidak cukup arif untuk mengenali suatu kekurangan pada diri saya. Alih-alih berusaha memetik pelajaran dari peristiwa kehilangan itu, saya mengabaikan segala hikmah dari sana. Saya melihat semua itu sebagai derita dan tidak ada hal lain di luar itu. Dan saat kegagalan-kegagalan saling bertumpuk, saya mati-matian menggandakan semua upaya salah kaprah itu, mengira bahwa kalau saja saya bisa mencurahkan lebih banyak perasaan dan jiwa saya ke dalam siksaan ini, saya akan menemukan jalan keluar.

Semua itu tidak pernah menjadi nyata. 5M Menyesatkan akan selalu mengkhianati Anda. Sungguh mengherankan jika mereka begitu terkenal.

Kemudian suatu hari, ketika saya sudah tidak tahan lagi untuk menanggung bahkan satu detik pun serangan pikiran yang mengerikan, saya berpura-pura selama beberapa detik, atau mungkin hanya satu atau dua menit, bahwa Ryan masih hidup di tengah-tengah kami, dan saya membiarkan diri saya mencintainya, seperti saat pertama kali saya menggendongnya.

Untuk beberapa waktu yang singkat itu, kegelapan pun memudar. Penyangkalan memang berfungsi sebagai oasis yang nyaman.

Namun, saya jadi bertanya-tanya apakah benar penyangkalan itu yang mengobati saya? Di dalam kepala, saya benar-benar sadar bahwa anak saya sudah meninggal. Jadi, tanpa kepura-puraan itu pun saya kembali membiarkan diri untuk memusatkan rasa cinta saya kepada Ryan. Dan perasaan damai dari derita itu pun kembali lagi.

Lama-lama–setelah begitu lama–saya temukan bahwa ketika saya sengaja membiarkan diri untuk mengumpulkan segenap cinta kepada Ryan, saya benar-benar merasa lebih baik–kejutan aneh–alih-alih merasa lebih buruk.

Saya juga menemukan bahwa saya masih bisa mencinta Ryan walaupun nyatanya dia tidak akan pernah membalas cinta saya–bahkan tidak akan pernah mengenal saya. Saya sadar bahwa cinta saya kepada Ryan (dan bukan cinta dia kepada saya) adalah warisan yang dia tinggalkan, dan tak seorang pun bisa merenggutnya. Kecuali saya sendiri. Dan saya tidak mau melepaskannya. Cinta itu terlalu kuat dan terlalu indah. Cinta itulah satu-satunya perasaan yang lebih kuat daripada derita akibat kehilangan.

Setiap hari, awalnya dengan air mata, saya menyisihkan waktu beristirahat untuk menikmati kedamaian rasa cinta saya untuk si kecil. Secara bertahap, rasa cinta yang saya rasakan mulai memberkahi saya dengan lebih dari sekadar pelarian dari derita. Cinta itu juga memberi saya kekuatan emosional untuk memaafkan, dan berhenti menyiksa diri saya dengan pertanyaan “Mengapa saya?” Dalam pembunuhan emosi seperti ini, seseorang hanya bisa menyalahkan siapa saja dan semua orang–dokter yang semestinya lebih tahu, sopir ambulans yang seharusnya bisa menyetir lebih cepat, para pembayar pajak yang menolak untuk membangun rumah sakit yang lebih besar. Diri sendiri. Nasib. Tuhan. Akan tetapi, saya memaafkan. Saya melepas pertemanan saya dengan amarah yang terasa sedikit nyaman itu.

Ketika saya melakukan semua ini, saya menemukan bahwa kemarahan saya hanyalah emosi pengganti untuk derita yang jauh lebih besar, dan bahkan jauh lebih sulit untuk diatasi. Derita yang lebih besar itu adalah rasa takut–rasa takut untuk menjalani sisa hidup saya yang tidak berharga lagi tanpa kehadiran anak lelaki saya, serta nasib dan Tuhan yang seolah-olah tengah menghalangi saya.

Semakin saya memaafkan, saya semakin bisa memahami dan menyadari bahwa walaupun Ryan telah tiada, baik Tuhan maupun orang lain tidak pernah menghalangi saya, dan nasib saya masih bisa berubah.

Pemaafan itu memberkahi saya dengan rasa aman di dalam diri dan memberi saya kesadaran akan kekuatan pribadi yang tidak terduga. Saya tidak lagi merasa bahwa seolah-oleh emosi saya sangat bergantung pada tindakan orang lain dan pada nasib itu sendiri. Kesedihan bisa saja menghantam saya berulang-ulang, tetapi kehidupan tidak bisa membuat saya membenci siapa pun–bahkan tidak diri saya sendiri.

Saya perlahan-lahan meraih kembali kekuatan, seperti layaknya seseorang yang telah berperang melawan penyakit yang parah, dan saya jadi lebih mampu untuk mengulurkan tangan dan membantu orang lain–keluarga saya yang tengah berduka, klien, dan teman-teman saya–dan saya mendapatkan kejutan lain. Meskipun saya sendiri masih perlu menghimpun kekuatan, justru dengan membantu orang lain, saya bisa memperoleh dayahidup yang lebih besar daripada yang saya berikan. Semakin banyak semangat dan cinta yang saya curahkan kepada orang lain, saya semakin merasakan diri saya terisi kembali dengan kehidupan dan harapan.

Saya temukan bahwa kehidupan di dunia saat ini lebih berharga daripada kemelut di dalam diri saya.

Dan pada suatu pagi yang biasa tanpa keriuhan, sebagaimana layaknya ketika perubahan sejati berlangsung, saya sadar bahwa telah tumbuh pengetahuan baru di dalam diri saya. Jenis pengetahuan yang membebaskan dan bukan sekadar ilusi yang biasanya hanya diperoleh lewat penderitaan. Saya tahu bahwa cinta saya kepada Ryan adalah milik saya selamanya, tersimpan di dalam hati, dan abadi. Saya tahu bahwa tidak ada peristiwa lain yang bisa membuat saya hancur secara keseluruhan. Saya tahu bahwa hidup teramat berharga dan singkat, dan bahwa sejak saat itu, saya akan memerhatikan anak pertama saya, Brett, jauh lebih baik daripada sebelumnya. Dan saya belajar bahwa jika saya mencurahkan cinta saya kepada Ryan, keluarga, teman-teman, dan klien-klien, jiwa saya akan kembali utuh.

Semua pelajaran ini luar biasa berharga bagi saya. Namun, saya tahu, bahkan sejak pagi itu, bahwa saya tidak akan pernah mempelajarinya tanpa mengalami penderitaan terlebih dahulu.

Jadi, pada hari yang sebenarnya itu, saya menjelma sebagai sosok yang optimistis. Saya belajar bahwa optimisme adalah: mengetahui semakin menyakitkan peristiwa yang dialami, semakin besar pula hikmah yang akan diperoleh.

32 respons untuk ‘Kisah Nyata: Bahagia Walau Cinta Tak Berbalas

    mahas said:
    7 Mei 2009 pukul 08:03

    A
    A
    A
    A
    A
    _________________________________________________________________
    BERITA TERKINI

    Foto antasari & rani dibuka ke publiK
    http://muntaz.wordpress.com/2009/05/07/foto-antasari-rani-bakal-dibuka-ke-publik/

    Foto—foto Antasari azhar dan rani julianti
    http://muntaz.wordpress.com/2009/05/05/foto-foto-mesra-antasari-azhar-dan-rani-julianti/
    ………….

    HUKUMAN MATI ANTASARI AZHAR
    http://muntaz.wordpress.com/2009/05/05/hukuman-mati-antasari-azhar/
    ………….

    Husna Azizah said:
    7 Mei 2009 pukul 11:12

    Dibalik Musibah Pasti Ada Hikmah tersembunyi

    v2love said:
    7 Mei 2009 pukul 12:59

    ,.Semoga nur qobu selalu menyinari hati kita dalam suka dan duka,,

    v2love said:
    7 Mei 2009 pukul 13:06

    Dlm setiap kegelisahan,kegundahan jiwa,ketegangan pikiran kita selalu perlu teman,teman buat berbagi,teman buat dapat nasehat,teman buat menuntun kearah jalan yg elok jalan yg tak putus..pertanyaan nya siapakah teman kita itu..

      Juan said:
      22 Juni 2010 pukul 14:51

      nak cerita ngan teman..tp g mana caranya..dulunya sewaktu ngan dia..dialah teman sahabat kekasih dan paling penting dlm hati ku dialah suamiku yang akan ku sanjung smppi bila2..tp skrg sumanya da berubah..sy tak punya teman dan tak punya apa2 lg selain keluarga..tp parents ku tak de lah tau sal kekecewaan ku..sbb ku x nk dorg kecewa ngan dia..kuarga ku jg sebenarnya mengharap kat dia tp..apakan daya ku inilah kenangan paling pahit dalam hidup ku..

      aan said:
      10 September 2010 pukul 23:11

      semua dari teman tersebut itu adalah hati kita sendiri..

    mie said:
    7 Mei 2009 pukul 14:25

    dibalik jalan yang menikung pasti ada jalan yg membentang lurus
    dibalik jalan yang menanjak pasti ada jalan yg menurun
    dan dibalik kebahagiaan pasti ada kesedihan

    smua tergantung dari bagaimana kita menyikapi hidup ini agar tidak terjebak pada salah satu jalan…

    Imas sumarni said:
    7 Mei 2009 pukul 17:36

    Teman terbaik adalah suami disamping kita,yg tdk bosan slalu memberikan dukungan dan dorongan dlm keadaan apapun,syg kamu jgn menyerah aku akan slalu ada disampingmu sampai aku mati.itulah teman terbaik dalam hdpmu.

    Gandi Wibowo said:
    8 Mei 2009 pukul 03:55

    Ceritanya sangat menyentuh hati, dan memberi semangat serta pemahaman baru dalam menghadapi masalah hidup ini. **Saya jadi pengin baca bukunya.

    Salam kenal, karena saya baru mampir di blog ini.

    […] “Kehilangan” seseorang yang sangat kita cintai mungkin saja membuat kita sangat berduka, tetapi duka itu takkan lama. Itu pun ada solusinya. (Lihat “Dzikir untuk Atasi Derita di Jalan Cinta“.) Sementara itu, hikmahnya luar biasa, jauh lebih besar daripada penderitaan yang kita alami. Dengan demikian, kita tidak usah terlalu takut kalau-kalau “kehilangan” si dia. Lihat Kisah Nyata: Bahagia walau cinta tak berbalas […]

    erin heri gunawan said:
    11 Mei 2009 pukul 00:28

    peristiwa dan kejadian yang kita alami sekarang ini,,,,sudah di goreskan 50 tahun sebelum kita di lahirkan…tuhan memberikan hal2 yang positif bagi hambaNya..jd berpikir positiflah…dan yang bisa mengubah nasib kita dan takdir Tuhan itu adalah diri kita sendiri apakah itu akan lebih baik atau lebih buruk…God Bless U

      Juan said:
      22 Juni 2010 pukul 14:59

      adakah belum terlambat untuk aku menambat hatinya..jika pada masa ini dia lg bahagia ngan org lain yg baru dia kenal dlm ms sebulan.sedangkan aku dan dia dah hampir dua tahun..skrg ni dia ngan org lain tp dia tak bagi kata putus yg dia nk tinggalkan aku..tp aku dah gtaw kat dia..kalo betul dia nk pilih org yg baru dia kenal tu aku trima walaupun aku tak rela..g mana lg cr nya untuk aku menghubungi nya dia da tukar no. da tak telefon aku..aku sedih kecewa tp jujur jauh di sudut hati ku, aku masih sayang ngan Nya dan selalu mengharap akan adanya peluang kedua itu..

    erna said:
    31 Mei 2009 pukul 17:24

    hidup ini adalh perjalanan untuk mati….dan dalam hidup ini ALLOH memberikan ujian yang harus kita selalu hadapi……baik itu adalah keindahan ataupun kesedihan..
    JIWA RAGA INI MILIK ALLOH DAN SEGALANYA AKN KEMBALI PADANYA HANYA TINGGAL MENUNNGGU WAKTUNYA SAJA….

    good luck
    dan setiap musibah itu untuk menguatkan kita agar semakinn ikhlas dan tabah

    izzyegha said:
    4 Juni 2009 pukul 14:23

    uh,, dallem bangett…
    cerita.a menyentuh hatti ckali..

    . terus berkarya y !!
    . klu adda waktu mampir di blogku y .
    ^^

    […] Memang, “kehilangan” seseorang yang sangat kita cintai mungkin saja membuat kita sangat berduka, tetapi duka itu takkan lama. Itu pun ada solusinya. (Lihat “Dzikir untuk Atasi Derita di Jalan Cinta“.) Sementara itu, hikmahnya luar biasa, jauh lebih besar daripada penderitaan yang kita alami. Dengan demikian, kita tidak usah terlalu sedih kalau-kalau “kehilangan” si dia. Lihat Kisah Nyata: Bahagia walau cinta tak berbalas […]

    feryza said:
    28 Juni 2009 pukul 13:01

    saya tersentuh banget dengan cerita d atas,,,,,
    karna saya lgi menglami@….
    saya buat ksalahan yg ckup besar tuk pcar saya..
    shngga dia tnggalkan saya,,,
    sekarang beribu penyesalan pada diriku,,,
    aq gak tau mo gmana,,,
    aq cnta bnget k dia,,,
    tpi apa daya sekarang….
    penyesalan ku tak ada guna,,,,
    aq bingung gmna aq harus mnebus kslahan yg pernah aq buat,,,,
    tolong aq ya allah….

      fafa said:
      19 Oktober 2009 pukul 10:18

      ikhlas….
      bet pelajaran aja ya?psti ada hlmahnya…
      uckey2…??
      chemangat……chemangat. . . . ??!!!!!

      Aan leo said:
      10 September 2010 pukul 23:25

      sabar aja ya… namanya hidup ini g luput dari pilihan.. mungkin dari penyesalanmu itu kamu sudah melakukan pilihan dalam hidupmu walaupun apa resikonya untukmu. g ada yang salah pada dirimu & g ada yang perlu kamu sesali dalam pilihanmu.. tetap semangat dan jalani terus aja hidup ini..pasti kedepanya akan banyak lagi pilihan untukmu.

    witridoank said:
    7 Juli 2009 pukul 19:21

    ya,,,

    NIAS said:
    22 Juli 2009 pukul 11:46

    SO SWEET STORY…………….
    MOGA AJA ADA PELAJARAN BERHARGA TIAP BAIT NYA………..

    cheepan said:
    11 Agustus 2009 pukul 14:01

    Wah, kisah yg menyentuh….mohon ijin utk co-paste? thanks sebelumnya…

    zulkarnain said:
    27 Agustus 2009 pukul 00:38

    Ya……………sebagai sosok yang telah dikenal, dalam dunia academis, bapak dapat menjadi salah satu figur yang mampu menangkap hikmah dari suatu kenangan buruk yang perna dialami, sabar waktu itu, menerima segalah kenyataan, adalah pengobat hati yang gunda…………….!

    Kartika Karwur said:
    21 Oktober 2009 pukul 09:53

    Hebat..!!!!!
    karena bisa melawan kesedihan itu !!!

    Kartika said:
    21 Oktober 2009 pukul 10:26

    Memang bukan hal yang muda menerima kenyataan kehilangan orang yang du cintai ! tapi bukan berarti kita harus terus-menerus tenggelam dalam kesedihan, dan buta terhadap hal yang bisa di syukuri !

    Bantulah “Kebahagiaan” untuk mengalahkan “Kesedihan” itu !?!
    kerena Kebahagiaan di miliki setiap orang !
    tinggal bagaimana hita menemukan cara untuk bisa bersahabat dengan kebahagiaan itu !!!

    […] Memang, “kehilangan” seseorang yang sangat kita cintai mungkin saja membuat kita sangat berduka, tetapi duka itu takkan lama. Itu pun ada solusinya. (Lihat “Dzikir untuk Atasi Derita di Jalan Cinta“.) Sementara itu, hikmahnya luar biasa, jauh lebih besar daripada penderitaan yang kita alami. Dengan demikian, kita tidak usah terlalu sedih kalau-kalau “kehilangan” si dia. Lihat Kisah Nyata: Bahagia walau cinta tak berbalas […]

    Takwil Mimpi Yang Tak Seindah Impian « Suara Mustika said:
    9 Desember 2009 pukul 20:16

    […] 4. Allah Sang Mahatahu lebih tahu apa yang lebih baik bagi kita. Bisa saja kita sangka sesuatu itu baik bagi kita, padahal sesungguhnya buruk bagi kita. Begitu pula sebaliknya. Jadi, tawakkal sajalah! (Untuk meringankan upayamu untuk bertawakkal, silakan ambil pelajaran dari “Kisah Nyata: Bahagia Walau Cinta Tak Berbalas“) […]

    Fiana Strife said:
    28 Maret 2010 pukul 12:39

    waduuh , panjang amat tuh cerita . Tapi bagus buat cerita yang bagus lagiiii !!!

    fany said:
    30 November 2010 pukul 13:49

    eman gak enak rasanya kalau kita kehilangan seseorang yang kita sayanggi
    apa lagi orang itu uda memberikan suasana yang berbeda dalam hidup kita
    tp kamu harus yakin dibalik musibah yang kamu alami apsti ada hikmah yang terkandung di dalamnya
    sabar aja yach pasti kamu bakan bisa ngejalani semua ini

    miron said:
    21 Desember 2010 pukul 23:09

    memang terasa sedih sekali, bila ditinggal oleh orang yang di cintai,semogah tabah dan tawakal menghadapi itu semua. saya pernah mengalaminya 3 kali berturut-turut dan saya pun sangat sedih kali. semoga apa yang terjadi itu hanya ujian untuk kita, kita itu di uji atau di coba oleh tuhan itu melalui apa aja yang tuhan kehendaki walaupun kita tidak menghendakinya itulah ujianya orang ada bermacam cara tuhan menguji kita agar kita semakin tabah dan kuat dan ingat kepadanNya.

    Reed dragon ball said:
    3 Agustus 2011 pukul 21:04

    bojok kalek????????????

    Gus nova said:
    19 Januari 2012 pukul 13:36

    “Selalu akan ada jalan keluar di setiap cabang keputusasan yang membuntu.”

    Ilham Al Rasyid said:
    9 Februari 2013 pukul 07:56

    bagus

Tinggalkan Balasan ke mie Batalkan balasan