Marilah kita berserah-diri setotal-totalnya kepada Tuhan!
[Perhatian: Artikel ini perlu dibaca dengan hati-hati. Pahami konteksnya dan jangan memahaminya secara sepotong-sepotong!] Sewaktu aku membuka diri terhadap kemungkinan murtad, banyak orang yang salah paham. Mereka menyangka bahwa aku meragukan kebenaran agama Islam. Padahal, saat membuka diri itu, aku hanya berusaha untuk berserah-diri kepada Tuhan setotal-totalnya tanpa memikirkan benar-sesatnya Islam. Aku memohon kepada-Nya untuk diberi petunjuk tentang manakah agama yang benar untuk diriku. Apa pun petunjuk-Nya, aku bersedia menerimanya. Bahkan bila petunjuk-Nya itu mengarahkan diriku untuk murtad keluar dari Islam, aku pun akan menerimanya. Ini bukan karena aku meragukan kebenaran Islam, melainkan karena aku mau berserah-diri setotal-totalnya kepada Sang Mahatahu. (Aku jadi ingat pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam berserah diri setotal-totalnya. Rasa-rasanya pengorbananku belum sebanding dengan mereka.)
Aku yakin bahwa Dia pasti akan memberiku petunjuk tentang manakah agama yang benar untukku. Mengapa aku yakin begitu? Karena aku yakin bahwa doa yang sungguh-sungguh pasti dikabulkan Tuhan. Dan untuk menunjukkan kesungguhanku kepada Tuhan, aku membuka diri selebar-lebarnya. Dan untuk menunjukkan kesungguhanku pula, secara terbuka aku mempertanyakan (bukan meragukan): Sesatkah agama Islam? Perlukah aku murtad?
Sebagian sahabat mengingatkan aku bahwa membuka diri selebar-lebarnya seperti itu berbahaya. Siapa tahu, pasukan iblis masuk dan menjerumuskan diriku, kata mereka. Namun menurutku, kekhawatiran semacam itu dapat membuat aku kurang berserah diri kepada Tuhan. Padahal, aku ingin berserah-diri setotal-totalnya. Maka jadilah aku memberanikan diri untuk membuka diri selebar-lebarnya.
Bagaimana dengan dirimu? Aku tidak tahu sejauh apa dirimu telah berserah diri kepada Tuhan. Aku tidak tahu apakah sekarang kamu perlu membuka diri selebar-lebarnya seperti itu. Karena itu, aku tidak memintamu untuk melakukan itu. Aku hanya mengajak dirimu, marilah kita berserah-diri setotal-totalnya kepada Tuhan, sesuai dengan kemampuan dan keadaan masing-masing!
—update pk. 23.00:
Komentar dari agorsiloku:
Rasanya betul Mas Shodiq, saya sendiri hanya memahami ketotalan “berserah diri” pada beberapa kejadian yang dikonsepkan seperti setelah Nabi Ibrahim tepat akan menyembelih putranya, ketika Nabi Musa melemparkan tongkatnya yang kemudian membelah lautan, ketika Maryam mendapatkan makanan dari langit, setelah mengoyangkan pohon agar buahnya jatuh …. Sebuah totalitas hadir ketika pernyataan tiada daya dan upaya, kecuali kehendakNya hadir sebagai kehendakNya. Ketika di dalamnya, kita berhasil melepaskan semua kehendak kita dan menyerahkan sepenuhnya pada kehendakNya. Ketika tidak ada lagi satu “huruf”pun yang disajikan kepada Sang Pencipta dalam seluruh arena hati dan pikiran kita. Tanpa satu pilihan, artinya tidak ada satu “tawaran”pun kita sampaikan kepadaNya.
Yang di-ajak-kan dalam diskusi ini, totalitas yang demikian (kah)?. Saat-saat itulah kita bisa mendengar suara alam dalam seluruh simpul-simpul keindahan kemahaan Sang Pencipta.
Di situ pula letak kecerdasan spiritual untuk mengajak pembaca menerawang ke simpul awal sebuah totalitas…..
Ya, betul banget. Itu saat ketika diri kita tidak mengkhawatirkan apa-apa. Kita tidak khawatir tersesat karena tidak berkehendak untuk berada di mana pun. Kita tidak khawatir kehilangan karena merasa tidak punya apa-apa… Semuanya kita serahkan kepadaNya.
5 Agustus 2010 pukul 03:10
@Mas M. Shodiq
Bahkan bila petunjuk-Nya itu mengarahkan diriku untuk murtad keluar dari Islam, aku pun akan menerimanya. Ini bukan karena aku meragukan kebenaran Islam, melainkan karena aku mau berserah-diri setotal-totalnya kepada Sang Mahatahu.
Astaghfirullahal azhim,… mohon maaf @Mas apa nggak keliru ?!
Ingat pesan Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al Qur’an Surah Ali Imran :102
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
Wassalam, Haniifa.
5 Agustus 2010 pukul 04:00
@ Haniifa
Harap pahami kalimat dalam konteksnya! Jangan secara sepotong-sepotong! Perhatikan bahwa aku mengatakan: “Mereka menyangka bahwa aku meragukan kebenaran agama Islam” dan “… karena aku mau berserah-diri setotal-totalnya kepada Sang Mahatahu.”
Perhatikan pula paragraf di bawahnya:
4 Februari 2012 pukul 11:20
Senang sekali dg tulisan Anda…
Yang saya tunggu2 sharing ttg pengalaman Anda setelah memulai “””berserah-diri setotal-totalnya kepada Tuhan!”””
Apapun cerita Anda ttg pengalaman tsb saya akan sangat senanghati untuk menyimakya. Saya tunggu ya mas….
japri aja ke gmandalan@yahoo.com
5 Agustus 2010 pukul 04:05
@Mas M. Shodiq Mustika
Agama yang benar sudah pasti ISLAM, titik.
13 Oktober 2010 pukul 08:33
Agama akan menjadi benar setelah dilaksanakan,dihayati,dialami dan terakhir harus disatukan dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan penyerahan diri total…dan anda akan melihat bahwa kebenaran yang sesungguhnya adalah bukan menurut manusia, hidayah akan datang dan semua menjadi jelas….
5 Agustus 2010 pukul 04:11
@ haniifa
Islam yang mana? Ada banyak wajah Islam
Lihat https://muhshodiq.wordpress.com/2010/06/18/manakah-islam-yang-sebenarnya/
Hampir setiap kelompok sama-sama mengklaim kelompoknyalah yang agamanya benar.
Aku tidak bisa ‘titik’ dalam keadaan begini. Aku perlu mencari “islaam” yang sebenar-benarnya.
5 Agustus 2010 pukul 15:51
@Mas M Shodiq Mustika
Kalau bijituh, coba sampean lihat secuil sejarah dan mudah-mudahan ketemu apa yang sampean cari-cari.
http://haniifa.wordpress.com/2009/12/27/optimasi-al-quran-wysiwyg-dan-wyhiwyg/
5 Agustus 2010 pukul 18:00
@ haniifa
Terima kasih atas informasinya. Tanggapanku kusampaikan di https://muhshodiq.wordpress.com/2010/08/05/seandainya-al-quran-sekarang-tidak-asli-maka/
5 Agustus 2010 pukul 04:18
@Mas Shodiq Mustika
Coba lihat “Islam ala Dr. Rashad Khalifa ” ? bijimanah 😀
http://haniifa.wordpress.com/2009/01/08/saya-tidak-sepintar-dr-rashad-khalifa-tapi-tidak-bodoh/
5 Agustus 2010 pukul 05:55
[…] Memahami Islam ← Marilah kita berserah-diri setotal-totalnya kepada Tuhan! […]
5 Agustus 2010 pukul 10:40
saya rasa, pertanyaan Islam yang mana, adalah sebuah hal yang lumrah pada zaman kini. ketidak mampuan orang dalam memahami Islam kemudian menyimpulkan “kebenaran” sesuai pikirannya yang selanjutnya malah menjadi racun bagi umat. Yah, saya pikir om shodiq ada benarnya ketika membuka diri untuk bersikap inklusif.
5 Agustus 2010 pukul 10:55
😉 😀
5 Agustus 2010 pukul 11:01
hi…ngambil avatar aku…..
5 Agustus 2010 pukul 11:05
😀
5 Agustus 2010 pukul 16:26
Pertanyaan Islam yang mana penting untuk membuat batasan dengan siapa berhadapan (?), alangkah indahnya juga ya, kalau kita tidak usah bertanya dengan pertanyaan ini….
5 Agustus 2010 pukul 16:45
Jadi teringat QS ‘Abasa,…
5 Agustus 2010 pukul 17:10
@ agor
Aku mengerti maksud mas agor. Cuman bagiku, menghindari pertanyaan “manakah yang Benar” belumlah tergolong setotal-totalnya dalam berserah diri. Kalau berpandangan lain, silakan. Aku menghargai perbedaan pendapat.
5 Agustus 2010 pukul 17:34
@Mas M Shodiq Mustika
Mari kita bicara tasawuf atau filsafat, ini kutipan dari artikel sampean.
5 Agustus 2010 pukul 18:05
@ haniifa
Ada perbedaan antara “total”, “ketotalan”, dan “setotal-totalnya”. Setotal-totalnya = setotal mungkin.
5 Agustus 2010 pukul 18:15
@Mas M Shodiq Mustika
Mohon maaf sekali lho @mas, tolong lihat artikel sayah mengenai “ke-an” agar kita bisa satu sudut pandang. =:: Klik ini ::
13 Oktober 2010 pukul 08:39
Mas Shodiq, jika kita masih menimbang benar dan salah,berarti kita belum berserah diri sepenuhnya, karena kita masih mengambil keputusan…..Hidayah dari Allah SWT yang harus dicari…..
5 Agustus 2010 pukul 15:10
Mengerucut pada penyerahan total, tekstual dan kontekstual, jangan sepotong-potong, betul yang disampaikan Mas. Ada berpikir untuk total atau tidak sama sekali.
Saya tidak punya kemampuan memahami secara cukup, sehingga saya kok bisa menyimpulkan postingan ini adalah sebuah persiapan untuk “pemberontakan”.
Aneh ya Mas Shodik kesimpulan logika sesat saya….
Saya juga bingung kok kenapa review saya kok seperti ini (yang seharusnya tidak sy katakan)….
Wassalam, agor
5 Agustus 2010 pukul 17:22
@ agorsiloku
Ya, logikanya keliru. Aku sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk “memberontak” atau apa pun selain kesiapan untuk menerima hikmah Tuhan dari mana pun. Begitulah ketotalanku dalam berserah diri kepada Tuhan. Posisiku seperti ini mungkin sulit dimengerti oleh orang-orang yang mendalami ilmu eksakta seperti mas agor dan mas haniifa. Namun kurasa, orang lain yang mendalami tasawuf atau filsafat cenderung lebih dapat menerima posisiku.
5 Agustus 2010 pukul 21:46
Rasanya betul Mas Shodiq, saya sendiri hanya memahami ketotalan “berserah diri” pada beberapa kejadian yang dikonsepkan seperti setelah Nabi Ibrahim tepat akan menyembelih putranya, ketika Nabi Musa melemparkan tongkatnya yang kemudian membelah lautan, ketika Maryam mendapatkan makanan dari langit, setelah mengoyangkan pohon agar buahnya jatuh …. Sebuah totalitas hadir ketika pernyataan tiada daya dan upaya, kecuali kehendakNya hadir sebagai kehendakNya. Ketika di dalamnya, kita berhasil melepaskan semua kehendak kita dan menyerahkan sepenuhnya pada kehendakNya. Ketika tidak ada lagi satu “huruf”pun yang disajikan kepada Sang Pencipta dalam seluruh arena hati dan pikiran kita. Tanpa satu pilihan, artinya tidak ada satu “tawaran”pun kita sampaikan kepadaNya.
Yang di-ajak-kan dalam diskusi ini, totalitas yang demikian (kah)?. Saat-saat itulah kita bisa mendengar suara alam dalam seluruh simpul-simpul keindahan kemahaan Sang Pencipta.
Di situ pula letak kecerdasan spiritual untuk mengajak pembaca menerawang ke simpul awal sebuah totalitas…..
5 Agustus 2010 pukul 22:39
@ agorsiloku
Ya, betul banget. Itu saat ketika diri kita tidak mengkhawatirkan apa-apa, tidak khawatir tersesat karena tidak berkehendak untuk berada di mana pun, tidak khawatir kehilangan karena merasa tidak punya apa-apa… Semuanya kita serahkan kepadaNya.
6 Agustus 2010 pukul 06:47
@Mas Agorsiloku
@Mas M. Shodiq Mustika
Mohon maaf, kalau secara konsepsi (teori) saja Insya Allah saya sependapat lho… permasalahannya Agama Islam tidak mengajarkan hanya teori tock 😀 , disinilah banyak yang
tersesat keliru dalam memahami din al islam terutama bagi orang-orang yang condong kepada tasawuf, filsafat, tarekat,…dsb.Apakah ada jaminan pada saat kita “merasa” sudah pasrah setotal-totalnya itu benar-benar terjadi ??
Sebagai contoh konsepsi tetang shalat yang khusu.
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, (QS 91:8)
Jelas bahwa ayat diatas berlaku secara global artinya tidak ada jaminan sama sekali dari Allah subhanahu wa ta’ala bahwa manusia pada saat memasrahkan dirinya (Shalat) bisa dalam alam fikirannya bisa terilhami “kefasikan” atau “ketakwaan”.
Mari kita renungi moment terpenting dalam kisah Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s yang masih kanak-kanak, apakah kita tidak berfikir mengapa justru seorang anak kecil (Ismail) yang memberikan dorongan moril kepada orang dewasa (Ibrahim) yang hendak melaksanakan niatnya berdasarkan perintah Allah, seolah-olah sang anak merasa khawatir sang ayah mengurungkan niatnya (timbul keragu-raguan/ ilham fasik).
6 Agustus 2010 pukul 13:17
@ mas agor
@ mas haniifa
Posisi saya saat ini adalah terbuka terhadap hikmah dari mana pun, termasuk dari mas agor dan mas haniifa.
Maaf, pertanyaan-pertanyaan terkini dari mas haniifa tidak saya jawab. Sebab, selain diam (tidak menjawab), saya tidak tahu lagi bagaimana caranya menghindari debat kusir di antara kita lantaran perbedaan sudut pandang.
Daripada saya, mas agor lebih tepat untuk berdiskusi dengan mas haniifa. Jadi, silakan mas haniifa lanjutkan diskusinya dengan mas agor.
Terima kasih. Wassalam..
6 Agustus 2010 pukul 06:50
@Mas Agorsiloku
@Mas M. Shodiq Mustika
Mohon maaf, kalau secara konsepsi (teori) saja Insya Allah saya sependapat lho… permasalahannya Agama Islam tidak mengajarkan hanya teori tock (hakekat) tetapi juga harus dengan praktek (syariat) 😀 , disinilah banyak yang
tersesatkeliru dalam memahami din al islam terutama bagi orang-orang yang condong kepada tasawuf, filsafat, tarekat,…dsb.Apakah ada jaminan pada saat kita “merasa” sudah pasrah setotal-totalnya itu benar-benar terjadi ??
Sebagai contoh konsepsi tetang shalat yang khusu.
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, (QS 91:8)
Jelas bahwa ayat diatas berlaku secara global artinya tidak ada jaminan sama sekali dari Allah subhanahu wa ta’ala bahwa manusia pada saat memasrahkan dirinya (Shalat) bisa dalam alam fikirannya bisa terilhami “kefasikan” atau “ketakwaan”.
Mari kita renungi moment terpenting dalam kisah Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s yang masih kanak-kanak, apakah kita tidak berfikir mengapa justru seorang anak kecil (Ismail) yang memberikan dorongan moril kepada orang dewasa (Ibrahim) yang hendak melaksanakan niatnya berdasarkan perintah Allah, seolah-olah sang anak merasa khawatir sang ayah mengurungkan niatnya (timbul keragu-raguan/ ilham fasik).
6 Agustus 2010 pukul 07:57
Oom Haniifa, oleh karena itu, saya berkomentar dengan kata “saat”, “ketika”, “tepat pada saat”, “setelah tongkat dilemparkan”, “setelah .. pohon digoyangkan. Dengan kata lain, totalitas muncul sebagai sebuah kejadian (epoch), bukan ing-form, bukan sebuah kontinuitas.
Saat shalat adalah komunikasi hamba dengan Pencipta
Nnya, dalam pemahaman agor, itu tidak bisa diukur dengan pertanyaan :Apakah bisa berserah diri saat sholat?. Ini adalah kesadaran dan kekhusyuan. Di sini ada komunikasi. Pada “saat” penyerahan total, saya menegasinya, tidak ada satu “huruf” pun, dimana kita punya kehendak, selain kehendakNya.Kembali ke Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail : Ketika… keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim membaringkan…. (perhatikan ayat ini juga menjelaskan epoch, unit kejadian, saat).
Saat untuk ke titik itu ada proses yang mendahuluinya.
Kalau Tarekat dan sejenisnya… wah… jadi panjang ceritanya… Menurut yang agor dapat pahami, betul, syariat adalah kuncinya, perniagaan dengan Allah, menempuh jalan yang sulit adalah memberi makan orang miskin, pendusta agama adalah yang tidak memberi makan.., menghardik anak yatim,…….
6 Agustus 2010 pukul 08:44
Pernah kah @Oom Agor, sekaliiiii saja… “merasa” saja… total yang setotal-totalnya menyerahkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala ?!
6 Agustus 2010 pukul 08:59
Pertanyaan yang sama buwat @Oom M. Shodiq Mustika…
Bijimanah, apakah kalau sampean tidak bisa “merasa” berserah diri setotal-totalnya kepada Allah…sekaliiiiii saja maka sampean akan mencari Agama selain Islam ?!
6 Agustus 2010 pukul 07:58
mohon maaf : dengan PenciptaNya, seharunya dengan PenciptaNya. Mohon dikoreksi.
6 Agustus 2010 pukul 07:58
mohon maaf : dengan PenciptaNya, seharusnya dengan Penciptanya. Mohon dikoreksi.
6 Agustus 2010 pukul 09:04
Oom Haniifa : Pernah kah @Oom Agor, sekaliiiii saja… “merasa” saja… total yang setotal-totalnya menyerahkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala ?!
Jawab :
Pernah, berkali-kali malah 😀
Dalam beberapa saat yang sederhana. Satu kali saya terpeleset dan jatuh dari sebuah bukit berguling. Bukit itu ada beberapa bebatuan. Sy sudah merasa tidak punya daya apapun untuk menyelematkan diri, yo wis, saya pasrah saja, apapun yang terjadi. Tiada daya yang dalam lintasan pikiran mungkin untuk selamat. Saya berguling beberapa kali menuruni bukit, terantuk sana-sini. Beberapa saat kemudian saya bangun, berdiri. Tidak kurang sesuatu apa. Orang yang melihat sudah mengira-ngira tentulah parah akibatnya.
Menurut saya, ada saat tertentu manusia (siapa saja), mengalami peristiwa-peristiwa yang kemudian merasa berada dalam posisi : “tiada daya dan upaya” yang mampu dilakukannya sehingga dia dalam posisi “menyerah” total. Biarlah yang menjadi kehendakNya sepenuhnya dijalankanNya. Itu adalah titik-titik simpul yang mengabarkan pada kesadaran manusia, kita tidak punya kekuasaan apapun apakah diselamatkan atau tidak.
Namun, ketika kita menggunakan “satu huruf” untuk meminta kepadaNya sebagai pilihan-pilihan… rasanya itu bukan berserah diri.
(Jangan tertawa lho Oom Haniif, ini bukan jawaban ngeles lho, ini jawaban bener). Tapi, menyebutkan ini jawaban diplomatis, bolehlah. Tapi, saya keberatan jika disebut jawaban sesat…
6 Agustus 2010 pukul 09:18
Oom Haniifa, kalau tidak keberatan, ijinkan menambahkan… jika saya masih punya satu “huruf” sebagai pilihan, maka konsepsinya menjadi bertanya dan meminta Allah memberikan petunjuk/keputusan.
Tapi, jangan anggap sy lagi mengajari Oom lho, nggak pantas.. jadi mohon maaf kalau jadi berlebihan…
6 Agustus 2010 pukul 09:34
to: sayah sendiri
Penyerahan diri secara total setotal-totalnya pernah berkali-kali bahkan pernah bisa kontinu, ketika sayah masih netek ibu sampai dengan sedikit dibawah aqli baligh… jelasnya sayah lupa dan tidak pernah terlintas segala sesuatu ketika orok s/d 2 tahun, apa yang akan menimpa sayah… mau dibanting khek, mau makan khek… mau di elus-elus khek… beda dengan sekarang, sayah banyak terpeleset jatuh ke kumbangan gara-gara mikirin kriditan motor, yang rasanya kok nggak abis-abis yah….. inginnya sehhh balik lagi ke masa kanak-kanak… tapi duh… 😦
6 Agustus 2010 pukul 09:44
Hi…hi…hi.. akhirnya Mas Haniifa akui ada kondisi penyerahan total, pernah bisa kontinu (ketika tidak ada satu huruf pun ditawarkan kepadaNya), saat itu ketika orok. Dalam dunia sufi, atau tasawuf, atau apalah.. manusia yang berada pada posisi asuhanNya tanpa daya adalah ibarat bayi kan….
Tapi tidak usah kembali ke masa kanak-kanak, sejumlah diskusi yang pernah agor baca, ketika manusia berdzikir sambil tertidur, kemudian dia tidur, dia kembali keharibaanNya…..
Ketika bangun, kembali memikirkan kreditan motor…. 😀
6 Agustus 2010 pukul 09:52
😉 😀
Iya yahh… duh, sayah jadi tahu kalau mabuk tidak boleh sholat…. kesadarannya setengah tidur kali @Oom.
6 Agustus 2010 pukul 09:46
@Mas M Shodiq Musatika
Mohon maaf mas, mudah-mudahan itu termasuk tekstual, eh kontekstual dari kisah Nabi Ibrahim a.s…. agar supaya karena oleh sebab logika kesimpulan sesat
6 Agustus 2010 pukul 13:34
to: @Sayah sendiri
“Marilah kita berserah-diri setotal-totalnya kepada Tuhan!” = Marilah kita tidur, sebab tidur itu lebih baik dari shalat, eh salah… ding “Ash-Shalatu khayrum minan nawm”
6 Agustus 2010 pukul 16:52
[…] Kalau kita sungguh-sungguh beriman kepada Al-Qur’an (dan bukan kepada tafsirnya atau apalagi terjemahnya), mestinya kita menyadari bahwa Allah sajalah yang Mahatahu mengenai apa yang sebenarnya Dia maksudkan dengan firman-firmanNya dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, daripada takabur dengan merasa diri paling benar, marilah kita berserah diri setotal-totalnya kepada Sang Mahatahu! […]
7 Agustus 2010 pukul 07:31
[…] itu bukan mimpiku. Itu kisah nyata mas agor dalam sebuah komentar di blog ini. Aku membacanya sepintas lalu. Mungkin karena kisah menarik itu beliau sampaikan secara […]
8 Agustus 2010 pukul 22:10
Sebagaimana kelakuan materi taat pada hukum alam, manusia menyerahkan dirinya pada yang menggerakkannya…begitukah pak ??
8 Agustus 2010 pukul 22:42
@ Tri_Aditya
Kesamaannya ada, tapi ada pula perbedaannya. Sebab, tidak seperti makhluk lainnya, manusia dikaruniai akal.
Mungkin Anda akan lebih memahami apa yang saya maksudkan ini melalui artikel https://muhshodiq.wordpress.com/2010/08/08/mampukah-manusia-memahami-al-quran-dan-kitab-lainnya/
8 Agustus 2010 pukul 23:20
[…] Jika seseorang merasa dirinya kaya tentu tidak akan merasa butuh uang, orang yang merasa sehat tidak akan merasa butuh berobat. Demikian pula orang yang merasa telah mengerti agama tentu tidak akan merasa butuh belajar agama. Diri kita harus dibuat mengerti dulu bahwa ia sesungguhnya fakir, maka barulah ia akan butuh Allah. […]
14 Oktober 2010 pukul 17:05
leh,,,gabung gk,,???
leh ngasih pendapat gk,,???
agama sejati adalah agama yg mengerti akan hakekat diri sejati
1 Januari 2011 pukul 16:20
sebelum lahir tidak ingat apa apa
matipun jg blm pernah mengalami
Berbuat baik saja…didunia ini..
13 Oktober 2015 pukul 06:20
yg terbaik berserah diri dalam kebenaran Alquran dan Hadis yg shahih